Aku mengikuti suatu pertandingan.
Sebuah pertandingan lari. Yang aku lakukan hanyalah aku harus selalu berlari.
Berlari demi sampai di garis akhir pertandingan itu.
Tekadku bulat. Aku harus menang.
Aku harus sampai. Aku tak boleh kalah. Aku harus berjuang.
Saat ini aku sedang persiapan.
Sebentar lagi lomba lari ini akan dimulai. Yang aku pandang hanyalah ratusan
meter jalan kosong didepan, dengan keramaian penonton di kanan dan di kirinya.
Mereka terlalu bersemangat menikmati pertandingan ini rupanya. Senyumku simpul.
Tanganku ku genggamkan erat. Satu tekadku, aku pasti menang. Aku tak peduli
bagaimana dan siapa saja lawanku. Aku
tak peduli bagaimanapun cara curang mereka nantinya, aku tetap meyakinkanku,
aku pasti menang. Aku bisa.
Sebentar lagi dalam tiga hitungan
dan suara tembakan terdengar, pertandingan dimulai. Aku sudah semakin
mempersiapkan keadaanku. Mengatur nafasku. Menggenggam erat tanganku. Dan
tersenyum lepas. Menenangkan diriku dari banyak gurauan lawan dikan dan dikiri.
Fokus. Dan fokus. Karena aku harus pertahankan harga diriku.
Satu.. Dua.. Tiga.. DARR !
Pertandingan dimulai, aku
berlari, berlari sekuat apapun, aku pandang lurus kedepan, aku siap menggapai
garis finish, aku bisa, karena aku yakin. Gemuruh suara penontonpun terdengar
semakin keras, menyemangati para peserta lari ini. Aku masih harus terus
berlari, berlari, dan berlari, menggapai garis di depan. Satu dua peserta
lainnya sudah ada yang terjatuh karena laju mereka yang terlalu kencang, mereka
ada dibelakang, dan didepanku, juga masih ada beberapa yang berlari, yang sama
memiliki tekad untuk menang, dan sampai di garis finish. Aku kerahkan
semangatku, aku mulai menyemangati, aku pasti bisa dan aku pasti menang.
Garis start semakin tak terlihat,
aku sudah jauh rupanya. Saat aku ditengah-tengah rute berlari ini, aku
mendengar satu suara, “ayo, kamu pasti
bisa, semangat, kamu mampu sampai akhirnya”. Kutoleh dikanan dan dikiri
penonton, tak ada satupun sosok yang aku kenal. Suara lembut itu suara ibuku,
namun sepanjang aku melihat, aku tak melihat sosoknya. Seolah suara itu hanya
lewat, aku tetap melaju, dengan tekadku, aku bisa dan pasti aku menang. Dengan
satu suara lembut itu makin berulang, berulang dan berulang. Iya, itu suara
ibuku. Namun dimana ia? Tak bisakah aku melihatnya? Bertemu? Menyembut manis
senyumnya? Pikiran itu terus aku ingat, dan makin terngiang. Aku makin
bersemangat.
Namun, semangatku seolah akan
berakhir, patah, bukannya aku tak mampu, namun seolah jantung semakin berdetak
cepat, kaki mulai merasa lemas, tangaku semakin kaku, ayolah, aku masoh saja
tetap menyemangati diriku, aku bisa, aku mampu, lihat garis finish tinggal
beberapa meter di depan, dan kamu sudah menajdi pemimpind alam pertandingan
ini, lawanmu saja sudah kau libas, sudah tertinggal beberapa dibelakang, dan
sudah ada yang jatuh, apa kamu mau jatuh juga ?
Aku makin lemas, tenangaku tak
lagi penuh. Semakin berkurang. Keringatku bercucuran, membasahi bajuku,
tanganku semakin sulit tergerak, kakiku semakin kaku, jantungku semakin tak
beraturan, dan nafasku makin terputus-putus.
..
..
Aku terjatuh.
Tubuhku diam tanpa gerakan. Aku
terkejut. Dan semakin terkejut. Karena aku tak bisa menyentuh tubuhku. Berulang
aku mencoba menyentuh, tak tersentuh juga. Tubuhku diam. Tanpa ada satupun
gerakan, bahkan pernafasan. Banyak orang mendekat, makin mendekati tubuhku,
mereka menyentuhku bisa, kenapa aku tidak? Mereka meletakkan jarinya diujung
telingaku, meletakkan tangannya di atas dadaku, dan memegang pergelangan
tanganku. Dan aku mendengar mereka berkata “Dia
sudah meninggal”.
Aku terjatuh. Lagi. Namun sebagai
jiwa yang pergi. Aku menangis. Aku pergi dari kerumunan orang banyak itu.
Meninggalkan jasadku, yang aku tahu sudah tak akan lagi hidup. Aku masih
menangis. Semakin menangis.
Sebuah pelukan hangat aku rasakan,
seperti pelukan hangat ayahku saat dulu. Dia tersenyum padaku. Mengusap air
mataku, dan membawaku semakin dekat dalam pelukannya.
“mengapa kau mennagis?” tanyanya lirih.
Aku pandang wajahnya, aku
terkejut. Aku pernah melihatnya sebelumnya, bahkan sering, walau hanya lewat
sebuah gambar. Aku punya gambar itu. Ibuku selalu memasangnya dirumah. Aku
selalu memanggilnya “Bapa” saat aku berdoa.
“Ba-pa?” tanyaku terbata.
“Ya, ini aku Bapa, yang sering kau sebut
dalam doamu. Mengapa kau menangis nak?” tanyanya.
“Bapa, aku .. apa aku sudah me-ning-gal?”
tanyaku lirih, “tak bisakah aku hidup
kembali?”
Ia tersenyum. “Ya, kau sudah tiada nak, kau sudah
tinggalkan kehidupan duniamu yang fana, dan kau akan tinggal bersamaku sekarang
di surga. Apa itu membuatmu bersedih?” lanjutnya. Aku terdiam. Kemudian Dia
membawaku pergi ke tempat lain. Dan aku melihat ibu, dan juga ayahku, bahkan
saudara dan temanku, mereka menangis, namun aku melihat sukacita dari mereka.
“Bapa, apa aku tak bisa kembali?”
“Bukannya aku tak ingin kau kembali.
pekerjaanmu di dunia sudah usai nak” jawabnya singkat.
“tapi aku masih merindukan mereka”
“pekerjaanmu di
dunia sudah usai nak, Aku tak ingin melihatmu terus bersedih disana. Aku
menjemputmu sekarang, mengajakmu bersamaku diam di surga” jawabNya dengan
lembut.
Aku terdiam. Aku melihat tubuhku
sudah cantik. Di dalam sebuah peti. Aku menggangguk. Dan Ia mengajakku pergi
dari tempat itu, yang aku lihat tak ada sedih yang begitu menyelimuti mereka
yang aku tinggalkan. Aku melihat sukacita dari mereka. Mereka sudah rela aku
tiada, daripada aku ada namun aku terus merasakan sakit yng tak kunjung pulih.
Aku sudah bahagia bersamaNya disurga. Dengan sukacita tiada tara. Aku sudah
meninggalkan sakit leukimiaku yang aku sudah derita sejak aku lahir hingga aku
berusia remaja kini. Pertandinganku telah usai. Aku tetap bahagia walau aku tak
terlahir sebagaimana menjadi seorang pemenang yang aku idamkan sebelumnya, yang
aku inginkan sebelumnya. Pertandingan itu usai, aku tak pernah mendapat satu
piala kebangganku. Namun satu hal yang aku dapat, kedamaian yang tiada duanya.
Aku menjauh, makin jauh dari semua, aku berjalan dengan senyuman bahagia
bersama Dia --