Minggu, 12 Agustus 2012

Sebuah Pertandingan


Aku mengikuti suatu pertandingan. Sebuah pertandingan lari. Yang aku lakukan hanyalah aku harus selalu berlari. Berlari demi sampai di garis akhir pertandingan itu.

Tekadku bulat. Aku harus menang. Aku harus sampai. Aku tak boleh kalah. Aku harus berjuang.

Saat ini aku sedang persiapan. Sebentar lagi lomba lari ini akan dimulai. Yang aku pandang hanyalah ratusan meter jalan kosong didepan, dengan keramaian penonton di kanan dan di kirinya. Mereka terlalu bersemangat menikmati pertandingan ini rupanya. Senyumku simpul. Tanganku ku genggamkan erat. Satu tekadku, aku pasti menang. Aku tak peduli bagaimana dan siapa saja lawanku.  Aku tak peduli bagaimanapun cara curang mereka nantinya, aku tetap meyakinkanku, aku pasti menang. Aku bisa.
Sebentar lagi dalam tiga hitungan dan suara tembakan terdengar, pertandingan dimulai. Aku sudah semakin mempersiapkan keadaanku. Mengatur nafasku. Menggenggam erat tanganku. Dan tersenyum lepas. Menenangkan diriku dari banyak gurauan lawan dikan dan dikiri. Fokus. Dan fokus. Karena aku harus pertahankan harga diriku.

Satu.. Dua.. Tiga.. DARR !

Pertandingan dimulai, aku berlari, berlari sekuat apapun, aku pandang lurus kedepan, aku siap menggapai garis finish, aku bisa, karena aku yakin. Gemuruh suara penontonpun terdengar semakin keras, menyemangati para peserta lari ini. Aku masih harus terus berlari, berlari, dan berlari, menggapai garis di depan. Satu dua peserta lainnya sudah ada yang terjatuh karena laju mereka yang terlalu kencang, mereka ada dibelakang, dan didepanku, juga masih ada beberapa yang berlari, yang sama memiliki tekad untuk menang, dan sampai di garis finish. Aku kerahkan semangatku, aku mulai menyemangati, aku pasti bisa dan aku pasti menang.

Garis start semakin tak terlihat, aku sudah jauh rupanya. Saat aku ditengah-tengah rute berlari ini, aku mendengar satu suara, “ayo, kamu pasti bisa, semangat, kamu mampu sampai akhirnya”. Kutoleh dikanan dan dikiri penonton, tak ada satupun sosok yang aku kenal. Suara lembut itu suara ibuku, namun sepanjang aku melihat, aku tak melihat sosoknya. Seolah suara itu hanya lewat, aku tetap melaju, dengan tekadku, aku bisa dan pasti aku menang. Dengan satu suara lembut itu makin berulang, berulang dan berulang. Iya, itu suara ibuku. Namun dimana ia? Tak bisakah aku melihatnya? Bertemu? Menyembut manis senyumnya? Pikiran itu terus aku ingat, dan makin terngiang. Aku makin bersemangat.
Namun, semangatku seolah akan berakhir, patah, bukannya aku tak mampu, namun seolah jantung semakin berdetak cepat, kaki mulai merasa lemas, tangaku semakin kaku, ayolah, aku masoh saja tetap menyemangati diriku, aku bisa, aku mampu, lihat garis finish tinggal beberapa meter di depan, dan kamu sudah menajdi pemimpind alam pertandingan ini, lawanmu saja sudah kau libas, sudah tertinggal beberapa dibelakang, dan sudah ada yang jatuh, apa kamu mau jatuh juga ?
Aku makin lemas, tenangaku tak lagi penuh. Semakin berkurang. Keringatku bercucuran, membasahi bajuku, tanganku semakin sulit tergerak, kakiku semakin kaku, jantungku semakin tak beraturan, dan nafasku makin terputus-putus.

..
..

Aku terjatuh.

Tubuhku diam tanpa gerakan. Aku terkejut. Dan semakin terkejut. Karena aku tak bisa menyentuh tubuhku. Berulang aku mencoba menyentuh, tak tersentuh juga. Tubuhku diam. Tanpa ada satupun gerakan, bahkan pernafasan. Banyak orang mendekat, makin mendekati tubuhku, mereka menyentuhku bisa, kenapa aku tidak? Mereka meletakkan jarinya diujung telingaku, meletakkan tangannya di atas dadaku, dan memegang pergelangan tanganku. Dan aku mendengar mereka berkata “Dia sudah meninggal”.

Aku terjatuh. Lagi. Namun sebagai jiwa yang pergi. Aku menangis. Aku pergi dari kerumunan orang banyak itu. Meninggalkan jasadku, yang aku tahu sudah tak akan lagi hidup. Aku masih menangis. Semakin menangis.

Sebuah pelukan hangat aku rasakan, seperti pelukan hangat ayahku saat dulu. Dia tersenyum padaku. Mengusap air mataku, dan membawaku semakin dekat dalam pelukannya.
               “mengapa kau mennagis?” tanyanya lirih.
Aku pandang wajahnya, aku terkejut. Aku pernah melihatnya sebelumnya, bahkan sering, walau hanya lewat sebuah gambar. Aku punya gambar itu. Ibuku selalu memasangnya dirumah. Aku selalu memanggilnya “Bapa” saat aku berdoa.
               “Ba-pa?” tanyaku terbata.
         “Ya, ini aku Bapa, yang sering kau sebut dalam doamu. Mengapa kau menangis nak?” tanyanya.
              “Bapa, aku .. apa aku sudah me-ning-gal?” tanyaku lirih, “tak bisakah aku hidup kembali?”
Ia tersenyum. “Ya, kau sudah tiada nak, kau sudah tinggalkan kehidupan duniamu yang fana, dan kau akan tinggal bersamaku sekarang di surga. Apa itu membuatmu bersedih?” lanjutnya. Aku terdiam. Kemudian Dia membawaku pergi ke tempat lain. Dan aku melihat ibu, dan juga ayahku, bahkan saudara dan temanku, mereka menangis, namun aku melihat sukacita dari mereka.
               “Bapa, apa aku tak bisa kembali?”
           “Bukannya aku tak ingin kau kembali. pekerjaanmu di dunia sudah usai nak” jawabnya singkat.
               “tapi aku masih merindukan mereka”
               “pekerjaanmu di dunia sudah usai nak, Aku tak ingin melihatmu terus bersedih disana. Aku menjemputmu sekarang, mengajakmu bersamaku diam di surga” jawabNya dengan lembut.

Aku terdiam. Aku melihat tubuhku sudah cantik. Di dalam sebuah peti. Aku menggangguk. Dan Ia mengajakku pergi dari tempat itu, yang aku lihat tak ada sedih yang begitu menyelimuti mereka yang aku tinggalkan. Aku melihat sukacita dari mereka. Mereka sudah rela aku tiada, daripada aku ada namun aku terus merasakan sakit yng tak kunjung pulih. Aku sudah bahagia bersamaNya disurga. Dengan sukacita tiada tara. Aku sudah meninggalkan sakit leukimiaku yang aku sudah derita sejak aku lahir hingga aku berusia remaja kini. Pertandinganku telah usai. Aku tetap bahagia walau aku tak terlahir sebagaimana menjadi seorang pemenang yang aku idamkan sebelumnya, yang aku inginkan sebelumnya. Pertandingan itu usai, aku tak pernah mendapat satu piala kebangganku. Namun satu hal yang aku dapat, kedamaian yang tiada duanya. Aku menjauh, makin jauh dari semua, aku berjalan dengan senyuman bahagia bersama Dia --


Selasa, 07 Agustus 2012

Daun dan Pohon

Daun dan Pohon. 26 july 2012. 08.20

Aku selembar daun. Aku tumbuh dari ranting yang menempel pada sebatang pohon. Aku hijau. Aku penuh dengan kesegaran. Dan aku juga selalu menciptakan oksigen yang membantu manusia bernafas. Pohon yang aku tempeli adalah pohon yang besar, kuat, dan selalu melindungi banyak hal-hal sederhana yang bernaung padaNya. Dia pohon. Dan Dia pokok dari segalanya.

Sebagaimana pohon biasanya. Pohon tidak hanya memiliki satu daun saja kan? Namun memiliki banyak daun-daun lainnya. Aku satu daun yang masih muda. Sama seperti daun yang lain. Ya daun yang lain itu adalah temanku. Kami tumbuh dalam satu masa yang sama. Dan kami sama-sama tumbuh menjadi daun-daun yang cantik. Aku sellau berharap, semua daun yang tumbuh disini akan terus ada bersamaku, bersama-sama tumbuh, menhijaukan pohon ini, memberikan kesejukan, dan memberikan suasana hijau yang menyegarkan mata bila banyak orang memandang dari kejauhan. Dan aku ingin menjadi daun yang semakin tumbuh dan semakin kuat, dan tetap terus bertahan pada ranting yang menumbuhkanku.

Sepertinya, aku salah. Daun-daun yang lain tidak selamanya akan bersamaku tumbuh disini. Saat mereka sudah menemukan kehidupan mereka yang lebih menyenangkan, mereka pergi. Ya mereka terlepas dan pergi terbawa angin entah kemana. Satu per satu, daun yang lainnya meninggalkanku, terlepas dari ranting yang selama ini menjadi pokok mereka. Mereka jauh terbawa angin. Tak tahu akan sampai kemana. Daun yang dulunya teman bagiku, secara cepet meninggalkanku karena gelombang angin memebawanya pergi dengan kebahagiaan.

Angin bertiup semakin keras. Hampir semua daun yang dekat denganku, pergi dan tak kembali. mereka masih sama-sama hijau sama seperti denganku, namun angin melepaskan mereka dan memebawa kebahagiaan bagi mereka, sehingga aku terlupa. Aku sebagai teman lamanya masih menanti mereka kembali, akankah? Rupanya untuk kembali menempel pada ranting-ranting yang semakin sepi ini suash sekali. Mereka pergi meninggalkanku. Pergi dengan kebahagiaan baru mereka.

Namun aku tetap disini, menunggu mereka pulang dan menyapaku, “Hai daun”. Namun itu mustahil terlaksana. Sekarang aku sudah tak lagi hijau. Aku sudah semakin memerah dan menguning. Aku masih seringkali menengok ke ranting lainnya, akankah daun-daun yang pergi itu kembali lagi? Sepertinya tidak. Dan tanpa aku sadar, sekarang hanya tinggal aku, selembar daun yang menguning masih tetap menempel pada pohon ini. Aku semakin rapuh. Dan bahkan aku sudah semakin sendiri sejak aku makin menghijau. Hingga kini tangkai kecilku semakin rapuh. Tak kuat menopangku. Aku sudah siap, aku terlepas sebagai daun yang terakhir dari pohon ini. Aku mati.

Namun yang aku tahu, selama aku bertahan dari hijaunya daun, hingga aku menguning dan jatuh, pohonlah yang tetap setia menemaniku. Menghiburku. Tak peduli teman-teman daunku yang lain pergi bahagia terbawa angin lalu yang menerbangkan mereka kemanapun tanpa kembali, pohonlah yang selalu setia menemaniku. Bercerita bersama, tertawa, bahkan berbagi duka bersama. Disaat daun-daun yang lainnya pergi, aku tak pernah sendiri ada Engkau, Pohon yang paling setia. Saat semua pergi berlalu dariku, terimakasih pohon. Kini aku sudah terjatuh dari rantingmu, dan mati dibawah akarmu.
(daun yang pergi itu seperti teman-teman yang kau miliki, yang pergi tanpa kembali dengan kebahagiaan yang angin telah tiupkan. Sedangkan engkau seperti selembar daun yang tumbuh dari hijau hingga menguning, dan mati karena waktu. Sampai setua apapun kau masih menunggu temanmu kembali (daun-daun yang lain). Sedangkan pohon menggambarkan Tuhan yang selalu ada setiap waktu. Ada untukmu. Membuat hidupku bahagia. Menceriakan dirimu, menghiburmu, dan mengajarkanmu tetap menempel pada rantingnya, sekalipun masalahmu berat. Dia setia.



Senin, 06 Agustus 2012

PATAS

PATAS
cepat namun terbatas
tulisan itu kubaca berulang-ulang
aku masih duduk disini, dikursi sebuah terminal pemberhentian banyak bis
satu tiket sudah aku dapat, ya, ini aku genggam ditangan.
ribuan orang masih saja berlalu lalang, aku tak tahu apa yang mereka lakukan, yang aku lihat, mereka ada yang baru datang dan sedang mencari kode-kode bis mana yang akan ditumpangi

beberapa menit berlalu, bis yang akan aku naiki tiba juga didepanku
ku angkat kedua tas besar berisikan barang bawaanku
dan kulangkahkan kakiku dengan malas
masih sepi
banyak kursi kosong yang belum diisi, namun itu bukan nomor tempat dudukku
aku melangkah lagi
tiga baris dari depan, ya itu nomor duduk yang sama dengan tiketku
aku letakkan barangku, dan aku duduk dipojok
menikmati pemandangan luar jendela

..
lama, bis ini tak kunjung berangkat
memang sudah hampir penuh, namun masih ada yang kosong
satu pedagang asongan mendekat padaku, dan ia bertanya
"mbak, minumnya mau beli?" tanyanya ramah dan penuh senyum
lamunanku buyar
"oh, tidak mas, saya sudah membawa, maaf" jawabku dengan senyum pula
"oh, baiklah. Tidak apa-apa mbak." jawabnya
sebelum ia pergi jauh, aku memanggilnya kembali
"mas, mau tanya lagi, boleh?"
"boleh mbak, silakkan"
"mas, ini bis-nya mau menuju mana ya?"
mas-mas itu kaget, dan memandangiku
"loh, mbaknya bagaimana? Masa naik bis tidak tahu mau kemana?" dia tersenyum "ya, tapi banyak orang bertanya sama dengan mbak, mereka tidak tahu kemana mereka akan pergi, padahal yang bisa mendapat tiket untuk bis PATAS ini terbatas loh mbak, hanya edisi khusus, dan tentunya limited. Tapi saya bersyukur, mbaknya sudah memilih bis yang tepat dengan tujuan yang tepat. Nanti mbaknya bisa tahu kemana bis ini pergi" lanjutnya
akupun hanya mengangguk
"terimakasih, mas"
"samasama"

..
aku masih tak mengerti. bingung.
namun yang aku ingat, aku harus bersyukur mendapat tiket ini, yang katanya limited edition
aku bolak-balik selembar tiket ini, tak tertera juga kemana tujuannya

..
waktu semakin cepat, tanpa aku rasa, seluruh bangku di bis ini sudah penuh, dan pak supirpun sudah didepan alat mengemudikannya
aku kembali memposisikan tempat dudukku senyaman mungkin
tapi, ada yang kurang dua tempat disebelahku kosong, tak ada orangnya
aneh
saat aku toleh keluar, banyak orang berlarian, bahkan ada yang menangis sambil menggedor bis ini
aneh
dan ada satu orang yang kulihat berkata pak supir bis ini
"ini tiket saya pak, mengapa saya tidak boleh masuk?"
"kamu sudah terlambat"
namun orang itu terus meminta masuk, dan sepertinya tiket orang itu bernomorkan satu bangku disebelahku
lagi
aku heran

..
tak lama, bis PATAS inipun melaju kencang dan cepat.
dan aku mendengar sang kondektur bis berkata,
"selamat datang di bis PATAS, cepat namun terbatas. Tujuan bis ini adalah SURGA. Selamat bagi anda yang sudah mengantongi tiket limited edition menuju SURGA. Dikiri saya ada bapak supir kita, Dia sang Juruselamat pribadi anda, yang akan mengantar pada kehidupan kekal kita. Selamat menikmati perjalanan menuju Surga, Tuhan memberkati"

sontak aku hanya bisa ternganga
ternyata, ini adalah bis menuju surga.
tiket yang didapatpun terbatas, selama kita didunia, maukah kita menerimaNya dengan sukacita? Dan hidup didalamNya? Sebenarnya Tuhan memberi banyak kesempatan, jalan satu-satuNya menuju surga, keselamatan yang cuma-cuma. Namun yang menjadi pertanyaan, maukah kamu menerima dan mengikutiNya?
Tidak ada pertobatan setelah kematian. Semua harus ikut dan tepat waktu. Banyak kursi yang Ia sediakan. Namun sedikit yang bisa menerima. Ya. Saat kita dengan percaya mengakui dan mengikut Dia.
Guys, ingat, cepat dan terbatas. Banyak tiket yang Ia sediakan bagi kita, maukah kita menerima keselamatanNya yang gratis, cuma-cuma, tanpa ada imbalan ? Semua terserah padamu. Aku tahu mana yang terbaik, karena hanya ada satu jalan utama (Yohanes 14 : 6) dan karena Dia lebih dahulu mengasihi kita ketika kita masih berdosa.
 
Blogger Template by Ipietoon Blogger Template