"Aku tidak pernah menunggumu." — Aku.
Aku bertanya kepada diriku sendiri, "Adakah sesuatu yang seharusnya tidak terjadi?"
Sayangnya, jawaban 'tidak' itu tidak akan pernah ada. Karena sesuatu itu telah kembali dan terjadi.
Aku tidak bisa kembali berlagak untuk membohongi diri sendiri, karena diri ini tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Meski seringkali aku berusaha mengatakan pada diriku, "Nggak, aku pasti salah" atau "Nggak, aku nggak ngerti."
Aku tidak pernah menunggumu, seperti yang kulakukan ketika aku menunggu orang yang lain.
Berulang kali aku memberondong pertanyaan kepada diriku sendiri, "Apa iya aku sebenarnya menunggumu selama ini?"
Aku tidak pernah menunggumu, bahkan aku lebih rela membuang waktuku untuk menunggu seseorang yang lain yang tidak pernah aku kenal dengan baik.
Aku tidak pernah menunggumu, tidak pernah memikirkan kembali tentang kisah-kisah yang dahulu, yang kutahu saat itu rasanya tidak serumit hari-hari ini.
Kau pulang, lagi.
Tanpa pernah aku tahu apa lagi yang akan terjadi.
Sekali lagi aku katakan bahwa, "Aku tidak pernah menunggumu."
Hari ini pikiranku melayang-layang entah kemana.
Ada banyak cerita masa lalu yang kembali terangkat ke permukaan.
Lagi-lagi, aku tidak pernah menunggumu. Bahkan tidak untuk mendoakanmu.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku, yaitu kamu.
Kamu yang sesekali pulang, lalu menghilang, dan kembali datang.
...
Lagu Sheila On 7 yang aku dengarkan berulang beberapa minggu belakangan rasanya menyentil hati.
"Celakanya, hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu."
"Sial." Batinku.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri (lagi dan lagi), "Apa sebenarnya kamu yang aku tunggu?"
Pertanyaan itu untukku, untuk aku pikir dan renungkan atau haruskah aku tanyakan kepada Tuhan? Karena aku tidak bisa menjawab. Sekalipun sesederhana itu jawabannya, ya atau tidak.
Pertanyaan itu untukku, untuk aku pikir dan renungkan atau haruskah aku tanyakan kepada Tuhan? Karena aku tidak bisa menjawab. Sekalipun sesederhana itu jawabannya, ya atau tidak.
Biarkan saja Tuhan yang menjawabnya, suatu hari.
Agar tidak lagi ada yang tersakiti karena terlalu dikecewakan.
Aku tidak ingin menjadi egois karena keinginanku sendiri. Aku percaya bahwa Tuhan mendampingi dalam masa pelik "permasalahan hati" yang sedang aku pertanyakan.
Terima kasih untuk Sang Pencipta Hati, yang senantiasa menyertai.
Terima kasih untukmu yang pulang dibawah rintik hujan, karena terkadang kepulanganmu membuatku tersenyum lebih lebar dari biasanya, meski kemudian kau kembali menghilang, hingga kau kembali lagi datang.
Aku tidak ingin menjadi egois karena keinginanku sendiri. Aku percaya bahwa Tuhan mendampingi dalam masa pelik "permasalahan hati" yang sedang aku pertanyakan.
Terima kasih untuk Sang Pencipta Hati, yang senantiasa menyertai.
Terima kasih untukmu yang pulang dibawah rintik hujan, karena terkadang kepulanganmu membuatku tersenyum lebih lebar dari biasanya, meski kemudian kau kembali menghilang, hingga kau kembali lagi datang.
—
Sebuah tulisan di Senin sore dibawah rintik hujan.