Tampilkan postingan dengan label #VR46. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #VR46. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Agustus 2021

#VR46 - Sepang Circuit dan Grazie Vale!

2017.
Aku berbincang dengan seorang teman semasa sekolah yang aku kenal juga sebagai penggemar Rossi garis keras. Kami sama-sama mengungkapkan sekali seumur hidup ingin nonton Rossi di Sepang Sirkuit (Sepang Sirkuit berada di Malaysia.) Kamipun berusaha untuk mewujudkannya, dan Tuhan berkata, “Ya.” 

Januari 2018.
Aku mencari penjual tiket resmi tribun Rossi di Sepang melalui website Sepang Circuit dan aku mendapatkan tiket promonya. Race masih November, namun satu bulan setelahnya, yaitu Februari aku sudah memegang tiket tribun impianku. 

Mei 2018.
Pertama kalinya aku berada pada kenekatan bulat, yaitu membuat paspor. Waktu di wawancara di Imigrasi, mereka bertanya, “Mau kemana nih kok buat paspor?” Aku menjawab, “Ke Malaysia.” Imigrasi bertanya, “Jalan-jalan ya?” Aku menjawab, “Nggak Pak, nonton Rossi di Sepang.” Petugas Imigrasi itu hanya melongo. Bahkan beberapa orang menyebutku gila, karena rela membuang uang dan waktu demi nonton Rossi live race. Come on! Ini adalah caraku membahagiakan diriku sendiri. 

November 2018.
Hari yang ditunggu itu tiba. Sejak pagi aku sudah bersiap-siap agar tidak terlambat menonton. Betapa gembiranya aku hari itu. Sepanjang perjalanan dari KL Sentral dengan bus khusus Rapid KL yang membawa kami menuju Sepang. Lama perjalanan kurasa jika normal antara satu jam, namun itu lebih dari satu jam. Apalagi ketika kami sudah mendekati Sepang, di sepanjang jalan aku melihat orang-orang berbaju kuning, berbendera kuning, hingga lengkap atribut kuning juga menuju kesana. 

Hari Minggu yang sangat melelahkan, namun terbayarkan lunas! Aku telah tiba di Sepang dengan gemuruh suara-suara yang sudah familiar ditelingaku, bukan hanya suara teriakan orang-orang, namun juga suara helikopter yang biasa bertugas di setiap sirkuit juga kudengar dekat. Ketika aku tiba disana, (jadwal race memang dimajukan) race kelas Moto2 sudah berlangsung setengah jalan. Riuh gemuruh suara penggemar tidak pernah berhenti sedikitpun, “Tuhan ini luar biasa berada disini,” gumamku dalam hati. 

Yang aku banggakan hingga hari ini adalah ketika aku live race di Sepang ada 5 hal:
1. Aku menjadi salah satu saksi pengkukuhan juara dunia Pecco Bagnaia (anak didik Rossi) dan tim Sky Racing VR46.
2. Aku menjadi salah satu saksi Luca Marini berhasil mendapatkan P1 pertamanya!
3. Aku menjadi saksi, live race langsung Dani Pedrosa di tahun terakhirnya sebelum pensiun.
4. Aku benar-benar melihat Rossi memimpin selama 17 putaran di depan, meski 4 putaran akhir Rossi harus crash di depan Tribun VR46. Dan aku melihat betapa senangnya aku, ketika aksi seusai race Rossi datang menghampiri Tribun VR46 dan melambaikan tangannya.
5. Dan aku berhasil mewujudkan impianku, untuk nonton live race! 

Euforia tribun VR46 tidak akan pernah aku lupakan, bahkan ingin membuatku kembali lagi di tahun-tahun yang akan datang. Saat itu aku berjanji, “Aku akan datang ke Sepang lagi di kala itu adalah tahun terakhir Rossi membalap, mau nggak mau!” Tapi, Tuhan membuat kisahnya berbeda. 

*** 

6 Agustus 2021.
Semalam, aku tiba di titik bahwa aku harus menerima keputusan Rossi. Rossi mengatakan untuk pensiun dan kuartal kedua musim ini adalah balapan terakhirnya. Rasanya, sedih juga. Sekalipun sudah sejak 2017 aku mempersiapkan hati untuk mendengarnya pensiun di hari-hari yang masih kelabu karena tidak tahu kapan. Namun, sebagai penggemar yang baik aku harus berbesar hati. Aku tahu bahwa itu adalah pergumulan yang sulit, tapi aku meyakini masa-masa depan setelah ini Rossi akan tetap bahagia. 

Rossi telah banyak meraih kesuksesan, bukan hanya berapa puluh koleksi piala kemenangan, berapa ratus juta hadiah yang dia terima setiap musim, hingga dia berhasil menerbitkan anak-anak muda berbakat Italia dibawah asuhan akademi balapnya. Lalu, masihkah Anda yang tidak mengenalnya akan selalu membandingkan segala pencapaian luar biasanya ini? 

Menurutku, sekalipun Rossi pensiun di hari ini, Rossi sudah bangga dengan dirinya sendiri. Rossi menjadi rider tertua yang tersisa dari kelas era tahun 2000-an. Rossi menjadi idola bukan hanya manusia-manusia di dunia, namun juga rider MotoGP itu sendiri (Fabio Quartararo, Maverick Vinales, Alex Rins, Joan Mir, dan lainnya.) Rossi juga menjadi awal bagaimana orang-orang begitu mencintainya, dan mencintai MotoGP ini. 

Mulai tahun depan, aku akan rindu kegiatan “kumatikan televisiku jika Rossi jatuh atau kalah.” Aku akan merindukan begadang demi seri Qatar, Argentina, dan Amerika. Aku akan merindukan nge-tweet selama race, dan segala hal bodoh yang membuatku senang. 

Oh my God!
Terima kasih untuk Rossi yang sudah menjadi idolaku sejak aku anak-anak. Terima kasih untuk semangat dan perjuangan yang selalu diberikan dan ditunjukkan. Terima kasih untuk ribuan cerita baik dan moodbooster-ku. Aku akan terus mengidolakanmu sebagai seorang yang baik dengan kharisma yang tidak ada rider lain yang akan menyamainya. Akhir dari eranya terlah berakhir, tapi Rossi tidak pernah berakhir. Rossi akan selalu dikenang sebagai ikon MotoGP dan jiwa MotoGP itu sendiri. 

Dari aku, 
Penggemarmu dari belahan dunia yang lain. Teruslah menjadi yang terbaik. Teruslah menjadi legenda hidup sampai nanti. Nikmatilah hari-hari kedepan dengan jauh lebih bahagia.
Ini adalah sebagian ceritaku. Terlalu panjang jika dikatakan sepenuhnya. Tapi aku bahagia, pernah menjadi bagiannya dengan begitu fanatiknya. Valentino Rossi, THE GOAT, LEGEND. 

“Kamu tidak akan dapat melaju cepat, jika kamu tidak mengenal lintasanmu.” -- Quote Valentino Rossi yang kukutip dari sebuah buku yang aku baca. 

***

Thank you, Vale. Grazie Vale. I’m not crying! I’m not crying. But, I’m crying. 


#VR46 - Valentino Rossi dalam Kisahku

Aku tidak pernah menyangka bahwa di Desember 2004 adalah awal dari bagaimana aku mengidolakannya. Yang kutahu saat itu, aku meminta kepada bapak untuk membelikanku majalah Bobo karena memiliki hadiah berupa buku catatan kecil yang menarik. Akhirnya, bapak membelikanku majalah itu dan aku mendapatkan hadiah itu. Saat itulah pertama kalinya aku merasa senang karena dibelikan majalah Bobo. 

Aku menemukan gambar Rossi menjadi cover di majalahnya. Pada topik yang membahasnya, redaksi Bobo memberikan sebuah judul, “Valentino Rossi, Melesat Tak Terkejar” gambarnya adalah Rossi dengan YZR-M1 Gauloises 2004, Welkom Circuit, Afrika Selatan. Di halaman itu aku membaca cerita, biodata, dan pencapaian seorang Rossi muda yang saat itu baru berusia 26 tahun dan telah memiliki 5 gelar juara dunia. 

Beberapa waktu berselang, saat itu kakak sepupuku jika pulang ke rumah sering mengajakku dan kakakku menonton siaran MotoGP disetiap minggunya. Dia memperkenalkanku pada beberapa ridernya yang saat itu adalah masa-masa berjayanya. Dia menunjuk di televisi, “Itu Valentino Rossi, usianya sama denganku, dan dia hebat. Yang itu adalah Max Biaggi, itu Marco Melandri,” hingga beberapa nama yang lain di waktu-waktu berikutnya. “Lihatlah, yang itu Dani Pedrosa, Jorge Lorenzo, dan Nicky Hayden.” Nama-nama itu menjadi tidak asing di telingaku, karena setiap balapan yang terjadi kami selalu bersemangat mendukung siapa jagoan masing-masing kami. Ya, sejak itulah aku mengidolakan Rossi, dengan alasan utamaku saat itu dia adalah raja lintasan paling hebat. 

Waktu berlalu, aku semakin menyukai olahraga ini. Meskipun kakak sepupuku sudah jarang nonton dirumah, tapi dengan rutin aku pasti akan duduk diam di depan televisi di setiap akhir pekan gelaran MotoGP. Saat itu pula, di akhir 2006 ketika Nicky Hayden juara dunia, aku begitu kecewa karena Rossi harus kalah sedikit poin di seri Valencia. Namun, itu tidak membuatku berhenti, aku semakin menikmati Rossi yang melaju dengan beragam aksinya di lintasan. 

Aku mengingat dimasa sekolah, aku bahkan rela menabung untuk membeli majalah MotoGP yang saat itu seharga 20.000-25.000 demi menjadi penggemar Rossi sejati. Aku bahkan rela tidak membeli kue ketika jam istirahat hanya untuk menabung dan membeli koran di hari Sabtu, Minggu, dan Senin untuk mencari berita Rossi di media cetak. Aku rela berangkat sekolah lebih awal, menunggu penjual koran melewati jalan di dekat sekolah sekedar untuk membelinya, atau jika di pagi hari aku tidak mendapatkan koran itu aku akan berjalan ke sekitar Pasar Besar, mencari penjual koran yang menjual korannya lebih murah hanya demi mengumpulkan gambar Rossi untuk sebuah kliping dengan cover yang manis berwarna kuning. Akupun rela menukar untuk mengerjakan tugas kesenian seorang teman dengan poster Rossi yang dia dapat dari majalah. Aku akan marah, jika teman yang tidak aku suka menyentuh koleksiku termasuk koran yang aku beli. Aku juga dengan bangga datang ke sekolah di masa SMP sambil tersenyum lebar kepada teman-temanku yang lain, "Semalam Rossi menang. Mana jagoanmu, kalah!" Akupun rela bangun tengah malam hanya untuk menikmati gelaran MotoGP Qatar di malam hari. Aku rasa, itu adalah hal-hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Bahkan aku memiliki buku khusus yang menulis pada putaran keberapa Rossi berada di posisi berapa (sebelum live Twitter seperti sekarang.) Tak lupa, aku juga bermimpi untuk menontonnya secara langsung, entah di sirkuit mana dia akan beraksi. 

Aku masih mengingat kemenangan di Assen 2007. Start dari P11 dan berhasil finish di P1. Aku masih mengingat duel spektakuler Laguna Seca bersama Casey Stoner pada tahun 2008. Duel bersama Jorge Lorenzo di Catalunya, 2009. Selebrasi manis pengkukuhan juara dunia di 2008 dan 2009, dan banyak lagi. Di era yang semakin maju, aku masih melihatnya kembali menjadi ganas setelah kembali dari Ducati di 2013, duel-duel sengit bersama Marc, hingga tragedi Sepang 2015 yang juga tidak bisa aku lupakan. 

Valencia, 2015. Adalah satu bukti banyaknya orang yang masih mencintai Anda. Sekalipun tahun itu harus (lagi) kalah dan mendapatkan posisi kedua di kejuaraan, tapi lihatlah sambutan manis di jalanan menuju paddock, semua begitu luar biasa, tidak ada yang lebih istimewa dari ini. 

Sejak saat itu, aku kembali berjanji untuk menonton Rossi setiap akhir pekan balapan, tidak peduli apa yang terjadi. Aku akan meng-cancel jadwal jika ada yang mengajakku bermain di pekan-pekan itu. Aku hanya ingin menikmati masa-masa akhir sebelum Rossi benar-benar pensiun sebaik mungkin. Hal itu sebagai salah satu caraku membalas selama 2011-2015 pertengahan, aku sudah melewatkan banyak waktu untuk tidak menikmati perjuangannya dengan baik. 

Kemenangan demi kemenangan yang semakin menipis tidak bisa aku pungkiri, namun aku masih selalu berharap selalu ada hasil yang baik. Naik turunnya performa Rossi di setiap seri tidak membuatku semakin melupakannya, justru membuatku semakin mencintainya sebagai seorang idola hingga hari ini. 

Lagi-lagi, Assen 2017. Itu adalah moment P1 terakhir Rossi hingga hari ini. Malam di hari Raya Idul Fitri aku menonton sendirian aksi Rossi. Hingga dia memenangkan pertandingan, dan itu membuat mood-ku menjadi 1000% jauh lebih baik. Rossi benar, “Usia hanyalah sebuah angka.” Disaat usianya semakin bertambah, justru disitulah aku bisa melihat bagaimana Rossi menunjukkan jiwa, semangat, dan usahanya yang benar-benar terdedikasi di dunia balap motor ini. 

Selanjutnya,



 
Blogger Template by Ipietoon Blogger Template