Aku tidak pernah menyangka bahwa di Desember 2004 adalah awal dari bagaimana aku mengidolakannya. Yang kutahu saat itu, aku meminta kepada bapak untuk membelikanku majalah Bobo karena memiliki hadiah berupa buku catatan kecil yang menarik. Akhirnya, bapak membelikanku majalah itu dan aku mendapatkan hadiah itu. Saat itulah pertama kalinya aku merasa senang karena dibelikan majalah Bobo.
Aku menemukan gambar Rossi menjadi cover di majalahnya. Pada topik yang membahasnya, redaksi Bobo memberikan sebuah judul, “Valentino Rossi, Melesat Tak Terkejar” gambarnya adalah Rossi dengan YZR-M1 Gauloises 2004, Welkom Circuit, Afrika Selatan. Di halaman itu aku membaca cerita, biodata, dan pencapaian seorang Rossi muda yang saat itu baru berusia 26 tahun dan telah memiliki 5 gelar juara dunia.
Beberapa waktu berselang, saat itu kakak sepupuku jika pulang ke rumah sering mengajakku dan kakakku menonton siaran MotoGP disetiap minggunya. Dia memperkenalkanku pada beberapa ridernya yang saat itu adalah masa-masa berjayanya. Dia menunjuk di televisi, “Itu Valentino Rossi, usianya sama denganku, dan dia hebat. Yang itu adalah Max Biaggi, itu Marco Melandri,” hingga beberapa nama yang lain di waktu-waktu berikutnya. “Lihatlah, yang itu Dani Pedrosa, Jorge Lorenzo, dan Nicky Hayden.” Nama-nama itu menjadi tidak asing di telingaku, karena setiap balapan yang terjadi kami selalu bersemangat mendukung siapa jagoan masing-masing kami. Ya, sejak itulah aku mengidolakan Rossi, dengan alasan utamaku saat itu dia adalah raja lintasan paling hebat.
Waktu berlalu, aku semakin menyukai olahraga ini. Meskipun kakak sepupuku sudah jarang nonton dirumah, tapi dengan rutin aku pasti akan duduk diam di depan televisi di setiap akhir pekan gelaran MotoGP. Saat itu pula, di akhir 2006 ketika Nicky Hayden juara dunia, aku begitu kecewa karena Rossi harus kalah sedikit poin di seri Valencia. Namun, itu tidak membuatku berhenti, aku semakin menikmati Rossi yang melaju dengan beragam aksinya di lintasan.
Aku mengingat dimasa sekolah, aku bahkan rela menabung untuk membeli majalah MotoGP yang saat itu seharga 20.000-25.000 demi menjadi penggemar Rossi sejati. Aku bahkan rela tidak membeli kue ketika jam istirahat hanya untuk menabung dan membeli koran di hari Sabtu, Minggu, dan Senin untuk mencari berita Rossi di media cetak. Aku rela berangkat sekolah lebih awal, menunggu penjual koran melewati jalan di dekat sekolah sekedar untuk membelinya, atau jika di pagi hari aku tidak mendapatkan koran itu aku akan berjalan ke sekitar Pasar Besar, mencari penjual koran yang menjual korannya lebih murah hanya demi mengumpulkan gambar Rossi untuk sebuah kliping dengan cover yang manis berwarna kuning. Akupun rela menukar untuk mengerjakan tugas kesenian seorang teman dengan poster Rossi yang dia dapat dari majalah. Aku akan marah, jika teman yang tidak aku suka menyentuh koleksiku termasuk koran yang aku beli. Aku juga dengan bangga datang ke sekolah di masa SMP sambil tersenyum lebar kepada teman-temanku yang lain, "Semalam Rossi menang. Mana jagoanmu, kalah!" Akupun rela bangun tengah malam hanya untuk menikmati gelaran MotoGP Qatar di malam hari. Aku rasa, itu adalah hal-hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Bahkan aku memiliki buku khusus yang menulis pada putaran keberapa Rossi berada di posisi berapa (sebelum live Twitter seperti sekarang.) Tak lupa, aku juga bermimpi untuk menontonnya secara langsung, entah di sirkuit mana dia akan beraksi.
Aku masih mengingat kemenangan di Assen 2007. Start dari P11 dan berhasil finish di P1. Aku masih mengingat duel spektakuler Laguna Seca bersama Casey Stoner pada tahun 2008. Duel bersama Jorge Lorenzo di Catalunya, 2009. Selebrasi manis pengkukuhan juara dunia di 2008 dan 2009, dan banyak lagi. Di era yang semakin maju, aku masih melihatnya kembali menjadi ganas setelah kembali dari Ducati di 2013, duel-duel sengit bersama Marc, hingga tragedi Sepang 2015 yang juga tidak bisa aku lupakan.
Valencia, 2015. Adalah satu bukti banyaknya orang yang masih mencintai Anda. Sekalipun tahun itu harus (lagi) kalah dan mendapatkan posisi kedua di kejuaraan, tapi lihatlah sambutan manis di jalanan menuju paddock, semua begitu luar biasa, tidak ada yang lebih istimewa dari ini.
Sejak saat itu, aku kembali berjanji untuk menonton Rossi setiap akhir pekan balapan, tidak peduli apa yang terjadi. Aku akan meng-cancel jadwal jika ada yang mengajakku bermain di pekan-pekan itu. Aku hanya ingin menikmati masa-masa akhir sebelum Rossi benar-benar pensiun sebaik mungkin. Hal itu sebagai salah satu caraku membalas selama 2011-2015 pertengahan, aku sudah melewatkan banyak waktu untuk tidak menikmati perjuangannya dengan baik.
Kemenangan demi kemenangan yang semakin menipis tidak bisa aku pungkiri, namun aku masih selalu berharap selalu ada hasil yang baik. Naik turunnya performa Rossi di setiap seri tidak membuatku semakin melupakannya, justru membuatku semakin mencintainya sebagai seorang idola hingga hari ini.
Lagi-lagi, Assen 2017. Itu adalah moment P1 terakhir Rossi hingga hari ini. Malam di hari Raya Idul Fitri aku menonton sendirian aksi Rossi. Hingga dia memenangkan pertandingan, dan itu membuat mood-ku menjadi 1000% jauh lebih baik. Rossi benar, “Usia hanyalah sebuah angka.” Disaat usianya semakin bertambah, justru disitulah aku bisa melihat bagaimana Rossi menunjukkan jiwa, semangat, dan usahanya yang benar-benar terdedikasi di dunia balap motor ini.