Minggu, 07 September 2014

Tujuh Yang Ke Empat Puluh Delapan

“Untuk tujuh yang keempat puluh delapan disetiap bulan kesembilan”

Kupikir hal itu akan segera berakhir sejak kita tidak lagi bertemu. Tetapi pada kenyataannya, tidak seperti yang aku pikirkan dan aku duga. Semua berjalan begitu alami, dan semua masih bertahan begitu kuat. Ada yang sempat akan neggantikanmu, tapi entah kenapa sepertinya auramu masih saja kuat. Dia harus pergi dan tidak kembali. Dan sekali lagi, aku harus bergumul berat dengan namamu seorang diri lagi.

Pernahkah terlintas dibenakmu sekali saja tentang aku? Aku tidak menyalahkanmu jika tidak sama sekali. Aku tahu, dipikiranmu bukan ada aku. Tapi ada soal dirinya. Yang aku tahu, dirinya mungkin jauh lebih mencintaimu dan kau cintai.
Pernahkan terlintas dibenakmu untuk bertanya apa yang sudah kau perbuat sehingga membuatku sampai jatuh mencintaimu? Tidak perlu kau tanyakan itu pada dirimu. Ketahuilah, kau terlalu istimewa, kau terlalu berbeda hingga membuatku bisa jatuh cinta kepadamu.
Pernahkan terlintas dibenakmu jika sampai saat ini ternyata aku masih mencintaimu? Jangan. Jangan kau pikirkan soal yang ini. Akulah yang salah. Aku yang tidak bisa melupakanmu dengan mudah. Aku yang tidak bisa membuka hati untuk yang lain. Karena untuk apa aku membuka hati jika kenyataan yang aku ketahui aku tidak bisa segera pergi berlalu darimu?
Kenangan manismu masih menempel kuat didinding-dinding hati yang sesekali hancur. Kau terlalu berarti. Tidak lebih dari seorang lelaki yang mampu menaklukkan hati seorang gadis sepertiku kala itu. Namun perjumpaan yang tidak lama itu sudah membuat beribu kenagan yang sulit dilupakan. Mungkin aku bahagia awalnya, namun aku tidak menyangka jika akhir yang menyakitkan itu juga datang. Jika aku tahu kau akan bahagia dengannya, aku tidak akan membiarkan aku jatuh dalam rasa itu padamu.

Selama ini, aku hanya bisa diam dan membungkam erat kenanagn itu denganmu. Hanya berbagi dengan orang-orang yang benar-benar tahu akan aku. Mereka tahu bagaimana aku selalu membuatmu berarti untukku. Memang, kita sudah hampir empat tahun berpisah, namun empat tahun untuk hari yang menjadikan itu terlalu berkesan saat denganmu tidak akan pernah aku lupakan dengan mudah. Diam-diam aku masih suka memperhatikanmu. Diam-diam aku masih suka berdoa untukmu ketika malam. Diam-diam aku masih suka memikirkanmu. Bayangmu tidak semudah itu hilang dari ingatanku, dari pikiranku. Aku tahu, mungkin aku tidak terlalu penting bagimu.  Biar itu menjadi kenangan yang aku simpan dan nikmati sendiri.

Dan lagi. Untuk tanggal tujuh yang keempat puluh delapan dibulan kesembilan setiap tahunnya. Aku hanya meminta jika Tuhan tahu apa yang terbaik untukku. Aku tidak meminta lebih, selain meminta untuk Dia menjagamu hari demi hari lebih baik. Terimakasih jika sampai tujuh yang keempat puluh delapan ini, kau masih boleh membiarkanku menjadi pengagum rahasiamu dibalik topengku yang sudah kau ketahui.


Bahagialah disana. Tersenyumlah dengannya. Biarkanlah aku sendiri menghitung tujuh demi tujuh itu sendiri.

Selasa, 26 Agustus 2014

Kita Tidak Akan Pernah Tahu

Kita tidak akan pernah tahu, seberapa jauh dan seberapa lama rasa itu bertahan di dalam diri kita.

Sesekali, butuh waktu untuk segera menjauh. Bahkan butuh orang yang dengan segera siap untuk menggantikan posisi dari orang yang sebelumnya. Namun, siapa bisa menyangka ketika takdir mengharuskan seperti ini. Mungkin aku salah jika aku menyalahkan takdir, harusnya aku lebih menyalahkan diriku sendiri yang tidak bisa dengan baik pergi berlari dari sosokmu, dikala dirimu sudah pergi bahagia dengan yang lain.

Aku butuh kamu. Namun sepertinya ungkapan itu sia-sia. Tidak akan pernah ada dirimu yang aku harap untuk ada itu benar-benar ada. Aku selalu menikmati hari-hariku sendiri, sendiri tanpa ada wajahmu (lagi) yang menghiasi lagi langit-langit senyumku. Perasaan itu masih aku biarkan mengalir dengan alami sejak hari kau benar-benar membuatku terkagum akanmu, namun perasaan itu sampai saat ini masih belum menemukan ujung dimana ia harus berhenti dan diam untuk selamanya.

Aku juga tahu, kebahagiaanmu sudah ditentukan dan diukur saat kamu berjalan seirama dengannya, bukan denganku. Bukan hakku untuk melarang itu, merelakanmu pergi untuk kebahagiaanmu adalah cara baik yang bisa aku lakukan, meskipun sesekali dahulu itu, aku mengumpat dibelakang karena belum bisa membiarkanmu pergi dengannya. Sekarang, apa lagi yang harus aku umpat dibelakangmu ketika aku sudah semakin tahu kamu memang dengannya? Bibirku menampakkan senyumnya, namun sebenarnya matakulah yang bekerja keras untuk berusaha menahan air yang akan keluar dari tiap rongganya.

Biarkan aku bahagia. Bahagia dengan apa yang aku rasa sekarang, sekalipun aku tahu, jika kamu tidak akan pernah mau tahu akan kebahagiaanku. Berjalanlah dengannya, berjalanlah semakin seirama. Doakan saja aku, segera melupakanmu dan tidak lagi membiarkan air mataku mengalir dengan sia-sia. Karena baik aku ataupun kamu, kita tidak akan pernah tahu jika perjalanan perasaan itu akan seperti ini.

Rabu, 23 April 2014

#23

selamat datang harimu.
untaian kata inilah yang bisa aku rangkai.
tidak banyak aku ingin katakan.
sedikitnya hanya satu kalimat saja, dan setidaknya aku harap bukan hanya Tuhan saja yang mendengar.
tapi kamu, kamu yang sedang berbahagia dihari ini.
angka pertama yang menemani angka dua-mu, semoga menjadi kawan terbaikmu setahun kedepan.
menemani pertumbuhanmu, bukan soal psikologis saja, namun soal imanmu.
sekali lagi aku hanya bisa menyerukan, dan menulis berulang angka dua puluh tiga itu. aku memang tidak banyak berharga dimatamu, tetapi aku adalah yang selalu mencoba mendoakanmu dari jarak yang jauh, yang tidak pernah kau tahu.
sekali lagi, dua puluh satu untuk dua puluh tiga-mu.
semoga berkesan. karena untaian kataku tidak sebanyak sebelum-sebelumnya.
semoga Tuhan menyampaikan untuk dua puluh tiga itu.
dua puluh tiga yang sekarang sudah menjadi dua puluh satu.
selalu dan masih saja sama setiap tahunnya.
sejak hari itu, sejak tiga tahun lalu.
masih aku.
masih aku yang senantiasa mendoakanmu dari jauh.
selamat hari rajamu, dua puluh tiga,


Selasa, 15 April 2014

Sejujurnya, Aku Sudah Lelah

"cerita ini menusukku, menghajar, bahkan mengantamku untuk kembali menjadi puing-puing yang terluka yang membutuhkan waktu yang lama untuk membuatnya pulih karena sejujurnya aku sudah lelah dengan semua yang aku pertahankan hingga saat ini."

aku tidak pernah tahu mengapa hal itu masih saja "mengantuiku". soal siapa yang sempat menggantikan posisimu itu, tidak lagi menjadi siapa yang teristimewa setelahmu. tempat yang masih saja sama masih terisi namamu, aku tidak pernah tahu kapan dan bagaimana bisa akan berubah, akan menjadi yang lebih baik. aku tahu, dia yang sempat menggantikanmu tidak mampu mengalahkan seberapa besarnya apa yang selalu aku ingat dan aku doakan. ketahuilah, aku kecap namamu setiap malam dalam untaian doa, bahkan namamupun sempat untuk digantikan olehnya, hanya saja, yang aku ketahui namamu itu terlalu kuat untuk bisa digantikan olehnya.

berbagai cara aku lakukan untuk tidak mengingatmu, membuang, bahkan melupakanmu dan tidak pernah mengingat tentang bagaimana caraku untuk bisa mengagumimu, apa boleh dikata. aku lelah, aku belum bisa membuangmu jauh dari pikiranku setiap harinya. aku telah sampai dipuncak kekesalan, aku telah sampai dimana aku benar-benar tidak bisa menahan untuk menemuimu. aku tidak menemuimu, tapi aku melihatmu, memantaumu, menjadi detektif yang tidak kau tahu melalui berbagai hal. aku berkelana, berjalan menjelajahi banyak peristiwa, satu demi satu aku teringat tentang kejadian yang dulu pernah ada. aku tersenyum, aku tertawa, percakapan kecil yang mungkin tidak denganku membuatku tenang untuk beberapa waktu. jemariku terus menekan tombol panah turun kebawah, mataku terus membidik tanpa pernah lepas satu katapun dari bidikannya, dan aku juga heran, ketika aku harus merelakan hatiku yang tidak bisa menahan sebagaimana aku harus bertahan, "aku benar-benar merindukanmu" merindukan setiap hal sederhana yang aku amati dari balik topengku untukmu.

tidak aku sadari, aku sudah tidak lagi merelakan buliran air itu keluar dari kelopak mataku, sejujurnya, aku menangis soal hal ini. namun aku selalu bertahan untuk tetap kuat.dan tidak ingin mereka tahu bagaimana rapuhnya aku sebenarnya jika sudah berada di puncak kekesalanku soal dirimu. biarkan aku sendiri. jangan tanyai soal apapun, aku hanya ingin menghabiskan waktuku malam itu sendiri, sendiri tanpa memikirkan apapun, kecuali dirimu. sejujurnya, aku sudah lelah. aku tidak bisa lepas dari bayanganmu, dari dirimu yang sampai detik ini jauh dan tidak bisa aku gapai sekalipun dalam mimpiku. aku sudah lelah, aku ingin mengakhiri ini secepatnya, menemukan pria lain yang tepat, yang menggantikan posisimu, yang hampir empat tahun tidak pernah berubah posisinya disini. aku sudah lelah, lelah menunggumu yang tidak pernah ada kabar. aku sudah lelah, mengmpat untuk tidak jika sebenarnya iya. sejujurnya, aku sudah lelah dan ingin segera mengakhiri segalanya sekalipun aku harus menghapus ribuan kenangan soal dirimu.

sejujurnya, aku sudah lelah.
namun untaian kata dalam doa untuk namamu masih saja sama sejak dulu.
lantas, kapankah doaku bisa sampai dan saling bertukar dengan doamu?
sejujurnya, aku sudah lelah. aku hanya ingin mengakhirinya.



Rabu, 02 April 2014

Masih Kutunggu, Hari Jadimu

“tunggu, aku tidak pernah memberikan yang terbaik dihadapanmu, tapi disini, aku bisa memberikan yang terbaik untukmu, dihari jadimu”.

Aku tersenyum diujung bibirku yang pilu. Mengucap namamu saja sudah tak lagi mampu. Sepatah dua patah kata, aku mencoba merangkainya. Menyusunnya, menjadikannya berarti kelak di hari-hari kedepan.

Sosokmu belum pernah pudar sekalipun sejak hari terakhir kita pernah bertemu di tanggal itu tiga tahun lalu. Kenangan yang keras masih saja tertanam didalam otak tanpa pernah ada keinginan untuknya segera pergi. Tatapan mataku saat itu, selalu mengingatkan bagaimana sederhananya aku mengagumimu dibalik tubuhku yang mulai ringkih karena lukamu yang mulai memakan ujung-ujung perasaan ini. Saat itu, aku menghargai benar tentang harimu, hari spesialmu. Tapi entahlah mungkin tidak untukmu yang tidak tahu jika aku sangat menghargai itu.

Aku masih menyimpan pesan singkat selama satu tahun kedepan setelah hari itu. Aku masih menyimpan kakunya jemariku yang mencoba aku sinkronkan dengan perasaanku untuk menyusun kata kecil bermakna bagimu, diharimu. Dan aku nyatakan aku berhasil, berhasil mendapat kado kecil untuk kerja keras jemari yang mengetik, perasaan yang bergejolak, dan pikiran yang berusaha mengumpulkan kata. Apa kau tahu perasaan yang terjadi ketika seperti itu? Tentu saja tidak. Aku tahu jika sebenarnya kita terpisah oleh jarak. Jarak yang hingga kini masih berjalan sejajar tapa ada satu titik pertemuan.

Kali ini, aku sudah mulai memikirkan soal apa yang akan aku bagikan untuk harimu, ya kelak jika hari itu tiba. Kebiasaan yang tidak pernah pergi sejak dua tahun belakangan, yang selalu memberikan tempat istimewa untukmu “disini”. Mungkin tidak banyak yang menyadari kita apa yang aku bagikan sebenarnya tertuju padamu, jika kau tahu dan andai kau tahu.

Tapi, aku tidak berharap kau untuk tahu. Mungkin saat kau tahu, aku sudah tidak lagi seperti yang kau rasakan saat itu. Aku sudah menjadi orang lain yang jauh berbeda dan sudah memiliki banyak impian yang aku raih. Setidaknya, tempat ini menjadikan bagian kecil dari aku menyimpan kenangan. Tentang bagaimana kenangan itu bisa tetap utuh sekalipun aku sudah tidak lagi merasakan hal-hal bergejolak seperti dahulu.

Tunggu saja, tunggu diharimu. Karena setiap tahunnya aku tidak akan pernah mengecewakanmu soal ini. Karena sebenarnya, setiap harimu datang, aku selalu berusaha memberikan hadiah terbaik untukmu, dariku.

Untuk lelaki yang sedang menunggu kedatangan hari bahagiannya,

Yang tidak pernah menyadari jika kisahnya menjadi bagian yang begitu berarti, “disini”.

Rabu, 19 Maret 2014

Jangan Datang Kembali

menunggu bukan hanya sekedar berdiam dan berusaha untuk terus menanti. mungkin, menunggu bisa berarti jika sebenarnya kita harus segera untuk pergi dan berlalu dari dia yang tidak pernah kunjung datang. menunggu adalah bagian kecil dari sebuah cerita dibalik hujan, tentang aku dan kamu, tentang kita. kita yang sebelumnya tidak pernah kau sadari.
aku selalu menganggap itu hal yang indah, namun tidak denganmu.
aku selalu menunggumu dengan penuh penanti-nantian, namun tidak denganmu.
aku selalu membiarkan air hujan itu membasahiku, namun tidak denganmu.
kau, kamu bukan lagi seperti yang dulu.
aku menunggumu, namun kau tidak pernah datang lagi.
aku ingin bertanya, apa yang kau lakukan sampai tidak datang lagi?
namun, aku tahu jika itu akan sia-sia, karena aku bukanlah siapa-siapa lagi.
waktu semakin berjalan, dan kau membiarkanku untuk mengubah persepsiku tentang menunggumu yang tidak lagi indah. tentang menantikanmu menjadi tentang aku yang harus membuang muka untuk tidak menanti kedatanganmu, dan tentang hujan yang semakin membasahi, mengguyur tubuhku dan menjadikannya lemah.
kau tidak lagi peduli akanku.
aku diam saja. aku memang tidak berhak untuk berkata dan memaksamu tetap ada disampingku. aku sudah tahu jika kau memang punya dunia lain untuk kau jalani, dunia baru.
tetapi, apakah boleh aku berkata satu hal dan memintamu untuk berjanji?
jangan datang kembali, jangan memaksaku menunggumu dibawah rintikan hujan.
kurelakan kau pergi hanya untuk membuat keyakinan jika aku sebenarnya satu dari banyak wanita yang diam-diam mencintaimu, aku yang terbaik untuk hal ini.
jangan datang kembali, jangan membuka luka lama ini lagi, jika kelak kita akan bertemu atau berada dalam satu situasi yang mengharuskan kita harus berbicara berdua tentang masa lalu itu.


Kamis, 20 Februari 2014

Dahulu dan Sekarang

"bukannya aku tidak mengenalmu, anggap saja perkenalan kita yang dahulu itu semu, bukan sebuah perkenalan yang menyebabkanku jatuh cinta kepadamu. yang aku tahu, rasa cintaku yang dahulu itu, sudah bukan bagian dari rasa cintaku yang sekarang"

hujan telah sejenak menahanku untuk tetap tinggal disana selama beberapa jam. entahlah, yang aku rasakan tertahan disana adalah biasa saja, namun tidak setelah hari semakin gelap.
lama tidak berjumpa membuatku tidak pernah tahu kabarmu. kau bilang aku sombong? silakkan. terserah tentang apa yang dikatakan olehmu dan oleh mereka. anggap saja kita tidak saling mengenal.
kupikir beberapa waktu kemarin saat kita tidak pernah lagi saling bertatap muka adalah cara terbaik yang Tuhan tunjukkan jika pada kenyataannya aku tidak pernah bisa berjalan seirama denganmu, jadi aku jauh lebih lepas saat ini, karena berjalan perlahan dan mulai bangkit dari keterpurukan karenamu.

anggap saja rasa yang dulu pernah ada itu tidak lagi sama.
anggap saja rasa yang dulu pernah berwarna itu kini menjadi hitam dan putih.
anggap saja tawa yang pernah kita buat bersama itu kini menjadi hal yang tak perlu lagi dikenangkan.
mungkin dahulu kita mengenal baik namun jika saat ini kita lebih baik saling menjaga jarak hingga menganggap 'tidak pernah ada perkenalan' itu, bukanlah lebih baik?\

jadi, mungkin jalan kita tidak akan pernah sama. maafkan aku jika aku sudah tidak bisa sebaik dahulu, aku hanya tidak ingin lukaku denganmu menganga lagi dan tidak pernah menjadi sembuh, kumohon. jangan lagi melakukan hal-hal yang mengingatkanku denganmu, tentang cerita kecil dibawah hujan saat itu dan dimeja depan kelas, ketika bahagia itu muncul. yang aku tahu, yang sekarang bukanlah yang dahulu.

Jumat, 07 Februari 2014

Untuk Tujuh Yang Ke Empat Puluh Satu

"tujuh yang keempat puluh satu, selama itu aku bertahan. namun apakah yang dipertahankan sesekali menoleh untuk hanya saja memandangku selama satu detik saja?"

bertahan sampai hari ini, jangan lagi ditanya bagaimana usahaku.
berdiri sampai detik ini disini, jangan lagi tanya sekuat apakah kakiku menopang berat tubuhku.
mengusap air mata, menghapus luka, berbaring untuk mencari ketenangan merupakan bagian-bagian kecil yang selalu meniringiku selama empat puluh satu bulain hingga detik ini.
jangan lagi ditanyakan, kepada siapa aku akan bertahan. untuk menyebut namanya saja mulutku sudah pilu. atau jangan lagi ditanyakan bagaimana dirinya, pikiranku sudah membeku, tidak akan lagi mampu mengingat setiap lekuk tubuhnya, dan setiap senyum simpulnya yang menawan.
dia tidak akan pernah sadar. atau mungkin dia tidak juga lagi tahu jika aku masih sekokoh ini bertahan. sekalipun aku pernah tergoyahkan kala itu, namun pondasiku masih kuat untuk menopangku secara tegak.
angka tujuh, tujuh lagi. kali ini tujuh yang keempat puluh satu.
rasanya, mengingat angka-angka yang selalu terhitung disetiap angka tujuh yang datang setiap bulannya membuatku pilu untuk berkata-kata. aku tidak mampu berkata banyak, selain aku menyebutkan namamu, nama disetiap malam dalam doaku.
kau jauh disana. aku disini.
kau berdua dengannya. aku sendiri.
kau tertawa bahagia. aku tersenyum menahan luka.
kau berlari dengannya. sementara aku tidak lagi mampu berlari untuk menggapaimu.
mungkin, saat kau menoleh, aku sudah tidak lagi kau lihat. aku sudah terjatuh dijalan, jalan yang jauh dari tempatmu berdiri.

bahagia. kata itu sederhana saja. aku bahagia walau hanya mengingat butir-butir angka tujuh yang selalu datang setiap bulannya. biar aku sendiri yang membalik setiap lembaran yang ada, biarkan mulutku mengucap namamu ribuan kali tiada henti, dan biarkan aku sendiri yang mengingat hari istimewa setiap tanggal tujuh yang datang.
untuk tujuh yang keempat puluh satu. yang masih setia menemaniku bercerita tentangnya dalam angan dan bayangan yang tidak pernah nyata.
untuk tujuh yang keempat puluh satu, yang masih menopangku berdiri hingga detik ini. untuk dia, dia yang telah berjalan bersama wanita lain dengan bahagianya.


Minggu, 26 Januari 2014

Jika Hari Ini

bibir ini menjadi semakin pilu, saat rasa itu tidak pernah menunjukkan bagaimana bahagia itu untuk diraih. berada di dekatmu saja membuat semuanya mengkerut, bukan hanya bibir dan nyali, namun juga hati. jika hari ini hari bahagia 'kalian' mungkin aku salah jika aku masih menyimpan erat segalanya seorang diri tanpa mau berbagi dengan yang lain. untuk apa aku berbagi jika yang lain sama saja tidak mengerti perasaan yang kugenggam ini?
jalanmu bukanlah jalanku, sama seperti harapanku tidak ada dalammu. kau telah menjadi hitam tanpa ada seberkas cahaya untuk kuikuti dan kuraih. bahkan semakin kemari, cahayamu sudah tidak lagi bisa aku temui.
jika hari ini hari bahagia 'dia' yang ada disampingmu, biarlah aku juga menjadi pendoa yang terbaik untuk masa depannya.
jika hari ini hari bahagia 'dari sebagain kecil hati kalian', biarlah aku juga menjadi yang bahagia dengan pergi menjauh untuk sebuah keikhlasan.
jika hari ini hari bahagia 'dan doa banyak dinaikkan untuk kalian', biarlah aku menjadi seseorang yang dengan lantang mengatakan yang terbaik untuk kalian.
mungkin saja luka yang harus kutinggalkan itu tidak semudah semut yang pergi meninggalkan bekas gula-gula yang mencair diatas meja yang masih tersisa rasa manis-manisnya walau hanya sedikit. namun, semoga luka yang harus ditinggalkan itu adalah jalan terbaik untuk tidak lagi menggandeng tangamu dalam bayangan bisuku, dalam angan gelapku, dan dalam mimpi yang sekalipun tidak pernah menjadi nyata.
yang aku tahu, yang harus aku lakukan adalah pergi, menjauh dari suka dan bahagia yang kalian rasakan. hatiku teriris perih, air mataku berlinang membasahi pipiku, aku pergi. jauh-jauh pergi saat hari ini menjadi hari bahagianya.


Jumat, 17 Januari 2014

Desember

Desember tidak pernah terlihat sama seperti bulan-bulan lainnya. Desember selalu terlihat berbeda, sekalipun jumlah hari, tanggal, dan waktunya sama dengan bulan-bulan lainnya. Sepertiku, yang tetap sama untuk menunggumu pulang.

Jejak-jejak Desember telah terhapus oleh hujan deras diawal tahun. Mengakhiri segala yang dituliskan dan memulai yang akan dituliskan. Ribuan lagu bersajak Desember selalu terdengar sejak awal kedatangannya. Dan semuanya selalu menceritakan berbagai hal yang begitu sempurna.

Desember 2010.
Peristiwa yang terjadi kala itu sudah tidak lagi menjadi amat isimewa. Berbagai pilihan dan jalan yang baru telah terbuka dan membuat hati harus memilih bagaimana itu harus dijalani. Aku masih ingat tentang tulisan kecil yang kau kirimkan padaku kala itu, dipagi hari, disaat langit masih tertutup awan yang kelabu.
Langit pagi itu memang kelabu, namun katamu hari itu telah membuat matahari bersinar dengan hangatnya untukku. Sehangat pesan yang kau sampaikan padaku dan sesederhana kata yang tertulis dipesan itu.
Lagi, Desember. Tiga tahun lalu yang sudah menjadi bayangan dalam kenangan. Cerita kecil yang tidak banyak orang ketahui. Aku merindukan saat-saat itu, walau sederhana namun aku bisa merasakan dengan tenangnya. Sayangnya, pesanmu tidak lagi aku simpan. Hanya saja, hatiku masih aku simpan untukmu sampai saat ini.

Desember 2013.
Tiga tahun berselang sejak kejadian Desember waktu itu. Bulan terakhir, tahun terakhir, dan pesan terakhir yang aku terima darimu. Setelah itu tidak ada lagi satupun hal kecil yang aku terima darimu. Menjauh dan sama-sama jauh adalah alasan yang paling utama soal hal ini. Jalan kita memang sudah berbeda sejak saat itu, tidak ada lagi senyum yang menghiasi bibirmu kala kita bertemu. Sempat awal tahun kita berjumpa, bertemu pada satu titik, tempat penyeberangan jalan. Namun sudah, tidak ada lagi hal yang begitu serupa bahagianya seperti saat-saat dulu. Bukan saat kita hanya bisa jauh dan saling menyapa, namun saat kita tertawa dan bersama-sama melewati hari bersama mereka.
Desember. Bulan yang selalu membawakan damai itu mengunjungi tahun 2013. Tibalah tiga puluh hari penuh bersamanya, terlintas sesaat memang tidak teristimewa, namun hari-hari menjelang akhirnya, itu terasa berbesa. Kali ini kau kembali seperti tiga tahun yang lalu, lewat pesan sekali lagi kau katakan hal itu. Aku tahu jika bagi semua orang hal yang kau katakan dalam pesanmu adalah hal biasa, apalagi di bulan Desember. Tetapi, bagiku.. sesederhana yang kau katakan dan tuliskan, itu berarti sekalipun kecil.
Desember, dan setiap pecahan kecil tentang kenangannya yang berarti.

Sekali lagi, Desember. Bulan terakhir dengan sejuta makna. Semendung langit dan segelap malam, matahari dan bintang pasti akan selalu ada dibaliknya untuk bersinar. Saat Desember penuh kenangan dan pilu hatiku menantimu pulang? Apakah kau yang disana juga merasakan demikian? Lihatlah, saar Pelukis Semesta begitu baiknya, menjadikan hal yang biasa saja terlihat begitu sempurna. Sama sepertiku yang dibuatnya menunggumu lama untuk pulang, hanya saja pertanyaanya, Benarkah kau akan pulang?

 
Blogger Template by Ipietoon Blogger Template